Post With Label Cerita orang sholeh - natasabar.com natasabar.com: Cerita orang sholeh - All Post
Showing posts with label Cerita orang sholeh. Show all posts

Wednesday 9 March 2022

thumbnail

Yang Penting Keikhlasan Bagian 3


Pada mulanya, sesudah menerima rencana tahkim, Imam Ali bermaksud akan mengangkat Abdullah bin Abbas atau shahabat lainnya sebagai wakil dari pihaknya. Tetapi golongan besar yang berpengaruh dari shahabat dan tentaranya memaksanya untuk memilih Abu Musa al-Asy'ari.

 
Alasan mereka karena Abu Musa tidak sedikit pun ikut campur dalam pertikaian antara Ali dan Mu'awiyah sejak semula. Bahkan setelah ia putus asa membawa kedua belah pihak kepada saling pengertian, kepada perdamaian dan menghentikan peperangan, ia menjauhkan diri dari pihak-pihak yang bersengketa itu. Maka ditinjau dari segi ini, ia adalah orang yang paling tepat untuk melaksanakan tahkim. 
 
 
 
 
Mengenai keimanan Abu Musa, begitupun tentang kejujuran dan ketulusannya, tak sedikit pun diragukan oleh Imam Ali.
 

Hanya ia tahu betul maksud-maksud tertentu pihak lain dan pengandalan mereka kepada anggar lidah dan tipu muslihat. 
 
 
Sedang Abu Musa, walaupun ia seorang yang ahli dan berilmu, tidak menyukai siasat anggar lidah dan tipu muslihat ini, serta ia ingin memperlakukan orang dengan kejujurannya dan bukan dengan kepintarannya. Karena itu Imam Ali khawatir Abu Musa akan tertipu oleh orang-orang itu, dan tahkim hanya akan beralih rupa menjadi anggar lidah dari sebelah pihak yang akan tambah merusak keadaan ...
 
Dan tahkim antara kedua belah pihak itu pun mulailah .... Abu Musa bertindak sebagai wakil dari pihak Imam Ali sedang Amr bin 'Ash sebagai wakil dari pihak Mu'awiyah. Dan sesungguhnya  'Amr bin 'Ash mengandalkan ketajaman otak dan kelihaiannya yang luar biasa untuk memenangkan pihak Mu'awiyah. 
 
 
Pertemuan antara kedua orang wakil itu, yakni Asy'ari dan 'Amr, didahului dengan diajukannya suatu usul yang dilontarkan oleh Abu Musa, yang maksudnya agar kedua hakim menyetujui dicalonkannya, bahkan dimaklumkannya Abdullah bin Umar sebagai khalifah Kaum Muslimin, karena tidak seorang pun di antara umumnya Kaum Muslimin yang tidak mencintai, menghormati dan memuliakannya. 
 
 
Mendengar arah pembicaraan Abu Musa ini,'Amr bin 'Ash pun meiihat suatu kesempatan emas yang tak akan dibiarkannya berlalu begitu saja. Dan maksud usul dari Abu Musa ialah bahwa ia sudah tidak terikat lagi dengan pihak yang diwakilinya, yakni Imam Ali. Artinya pula bahwa ia bersedia menyerahkan khalifah kepada pihak lain dari kalangan shahabat-shahabat Rasul, dengan alasan bahwa ia telah mengusulkan  Abdullah bin Umar .... 
 
 
 
 
Demikianlah dengan kelicinannya, 'Amr menemukan pintu yang lebar untuk mencapai tujuannya, hingga ia tetap mengusulkan Mu'awiyah. Kemudian diusulkannya pula puteranya sendiri Abdullah bin 'Amr yang memang mempunyai kedudukan tinggi di kalangan para shahabat Rasulullah saw.
Kecerdikan 'Amr ini, terbaca oleh keahlian Abu Musa. Karena demi dilihatnya'Amr mengambil prinsip pencalonan itu sebagai dasar bagi perundingan dan tahkim, ia pun memutar kendali ke arab yang lebih aman. Secara tak terduga dinyatakannya kepada 'Amr bahwa pemilihan khalifah itu adalah haq seluruh Kaum Muslimin, sedang Allah telah menetapkan bahwa segala  urusan  mereka hendaklah  diperundingkan  di antara mereka. Maka hendaklah soal pemilihan itu diserahkan hanya kepada mereka bersama. 
 
 
Dan akan kita lihat nanti bagaimana 'Amr menggunakan prinsip yang mulia ini untuk keuntungan pihak Mu'awiyah 
 
 
Tetapi sebelum itu marilah kita dengar soal jawab yang bersejarah itu yang berlangsung antara Abu Musa dan 'Amr bin 'Ash di awal pertemuan mereka, yang kita nukil dari buku "Al-Akhbaruth Thiwal" buah tangan Abu Hanifah ad Dainawari sebagai berikut: -- Abu Musa : 
 
+ Hai  'Amr! Apakah anda menginginkan kemaslahatan ummat dan ridla Allah ...? Ujar 'Amr: -
-- Apakah itu  ?

+ Kita angkat Abdullah bin Umar. Ia tidak ikut campur sedikit pun dalam peperangan ini.
-- Dan anda, bagaimana pandangan anda terhadap Mu'awiyah...?

+ Tak ada tempat Mu'awiyah di sini ..., dan tak ada haknya
--Apakah anda tidak mengakui bahwa Utsman dibunuh secara aniaya...?

+ Benar!
--Maka Mu'awiyah adalah wail dan penuntut darahnya, sedang kedudukan atau asal-usulnya di kalangan bangsa Quraisy sebagai telah anda ketahui pula. Jika ada yang mengatakan nanti kenapa ia diangkat untuk jabatan itu, padahal tak ada sangkut pautnya dulu, maka anda dapat memberikan alasan bahwa ia adalah wail darah Utsman, sedang Allah Ta'ala berfirman: "Barang siapa yang dibunuh secara aniaya, make Kami berikan kekuasaan kepada walinya     I" Di samping itu ia adalah saudara Ummu Habibah, istri Nabi shallallahu alaihi wasalam  juga salah seorang dari shahabatnya.

+ Takutilah Allah hai 'Amr! Mengenai kemuliaan Mu'awiyah yang kamu katakan itu, seandainya khilafat dapat diperoleh dengan kemuliaan, maka orang yang paling berhaq terhadapnya ialah Abrahah bin Shabah, karena ia adalah keturunan raja-raja Yaman Attababiah yang menguasai bagian timur dan barat bumi. Kemudian, apa artinya kemuliaan Mu'awiyah dibanding dengan Ali bin Abi Thalib ...? Adapun katamu bahwa Mu'awiyah wail Utsman, maka lebih utamalah daripadanya putera Utsman sendiri 'Amr bin Utsman... ! Tetapi seandainya kamu bersedia mengikuti anjuranku, kita hidupkan kembali Sunnah dan kenangan Umar bin Khatthab dengan mengangkat puteranya Abdullah si Kyahi itu...!

--Kalau begitu apa halangannya bila anda mengangkat puteraku Abdullah yang memiliki keutamaan dan keshalehan, begitupun lebih dulu hijrah dan bergaul dengan Nabi?

+ Puteramu memang seorang yang benar! Tetapi kamu telah menyeretnya ke lumpur peperangan ini! Maka baiklah kita serahkan saja kepada orang baik, putra dari orang baik ,yaitu Abdullah bin Umar ... !
-- Wahai Abu Musa! Urusan ini tidak cocok baginya, karena pekerjaan ini hanya layak bagi laki-laki yang memiliki dua pasang geraham, yang satu untuk makan, sedang lainnya untuk memberi makan ... !

+ Keterlaluan engkau wahai 'Amr! Kaum Muslimin telah menyerahkan penyelesaian masalah ini kepada kita, setelah mereka berpanahan dan bertetakan pedang. Maka janganlah kita jerumuskan mereka itu kepada fitnah ...!
-- Jadi bagaimana pendapat anda ... ?

+ Pendapatku, kita tanggalkan jabatan khalifah itu dari kedua mereka -- Ali dan Mu'awiyah -- dan kita serahkan kepada permusyawaratan Kaum NIuslimin yang akan memilih siapa yang mereka sukai.
-- Ya, saya setuju dengan pendapat ini, karena di sanalah terletak keselamatan jiwa manusia ..
 
 
Percakapan ini merubah sama sekali akan bentuk gambaranyang biasa kita bayangkan mengenai Abu Musa al-Asy'ari, setiap kita teringat akan peristiwa tahkim ini. Ternyata bahwa Abu Musa jauh sekali akan dapat dikatakan lengah atau lalai. Bahkan dalam soal jawab ini kepintarannya lebih menonjol dari kecerdikan 'Amr bin 'Ash yang terkenal licin dan lihai itu Maka tatkala 'Amr hendak memaksa Abu Musa untuk menerima Mu'awiyah sebagai khalifah dengan alasan kebangsawanannya dalam suku Quraisy dan kedudukannya sebagai wall dari  Utsman, datanglah jawaban dari Abu Musa, suatu jawaban gemilang dan tajam laksana mata pedang: -- Seandainya khilafat itu berdasarkan kebangsawanan, maka Abrahah bin Shabbah seorang keturunan raja-raja, lebih utama dari Mu'awiyah….! 
 
 
Dan jika berdasarkan sebagai wali dari darah Utsman dan pembela haknya, maka putera Utsman radhiallahu anhu . sendiri lebih utama menjadi wali dari Mu'awiyah …! 
 
 
Setelah perundingan ini, kasus tahkim berlangsung menempuh jalan sepenuhnya menjadi tanggung jawab 'Amr bin 'Ash seorang diri .... Abu Musa telah melaksanakan tugasnya dengan mengembalikan urusan kepada ummat, yang akan memutuskan dan memilih khalifah mereka. Dan 'Amr telah menyetujui dan mengakui tarikatnya dengan pendapat ini .... 
 
 
Bagi Abu Musa tidak terpikir bahwa dalam suasana genting yang mengancam Islam dan Kaum Muslimin dengan mala petaka besar ini, 'Amr masih akan bsrsiasat anggar lidah, bagaimana juga fanatiknya kepada Mu'awiyah ... ! Ibnu Abbas telah memperingatkannya ketika ia kembalikepada mereka menyampaikan apa yang telah disetujui, jangan-jangan 'Amr akan bersilat lidah, katanya: -
"Demi Allah, saya khawatir 'Amr akan menipu anda! Jika telah tercapai persetujuan mengenai sesuatu antara anda berdua, maka silakanlah dulu ia berbicara, kemudian baru anda di belakangnya…. !"
 
 
Tetapi sebagai dikatakan tadi, melihat suasana demikian gawat dan penting, Abu Musa tak menduga 'Amr akan main-main, hingga ia merasa yakin bahwa 'Amr akan memenuhi apa yang telah mereka setujui bersama. 
 
 
Keesokan harinya, kedua mereka pun bertemu mukalah ..., Abu Musa mewakili pihak Imam Ali dan 'Amr bin 'Ash mewakili pihak Mu'awiyah. 
 
Abu Musa mempersilakan 'Amr untuk bicara, ia menolak, katanya: -

"Tak mungkin aku akan berbicara lebih dulu dari anda... ! Anda lebih utama daripadaku, lebih dulu hijrah dan lebih tua    '" 
 
Maka tampillah Abu Musa, lalu menghadap ke arah khalayak dari kedua belah pihak yang sedang duduk menunggu dengan berdebar, seraya katanya: - 
 
"Wahai saudara sekalian! Kami telah meninjau sedalam-dalamnya mengenai hal ini yang akan dapat mengikat tail kasih sayang dan memperbaiki keadaan ummat ini, kami tidak melihat jalan yang lebih tepat daripada menanggalkan jabatan kedua tokoh ini, Ali dan Mu'awiyah, dan menyerahkannya kepada permusyawaratan ummat yang akan memilih siapa yang mereka kehendaki menjadi khalifah.... Dan sekarang, sesungguhnya saya telah menanggalkan Ali dan Mu'awiyah dari jabatan mereka .... Maka hadapilah urusan kalian ini dan angkatlah orang yang kalian sukai untuk menjadi khalifah kalian ... !'
 
 
Sekarang tiba giliran 'Amr untuk memaklumkan penurunan Mu'awiyah sebagaimana telah dilakukan Abu Musa terhadap Ail, untuk melaksanakan persetujuan yang telah dilakukannya kemarin.'Amr menaiki mimbar, lain katanya: "Wahai saudara sekalian! Abu Musa telah mengatakan apa yang telah sama kalian dengar, dan ia telah menanggalkan shahabatnya dari jabatannya       Ketahuilah, bahwa saya juga telah menanggaIkan shahabatnya itu dari jabatannya sebagaimana dilakukannya, dan saya mengukuhkan shahabatku Mu'awiyah, karena ia adalah wali dari Amirul Mu'minin Utsman dan penuntut darahnya serta manusia yang lebih berhak dengan jabatannya ini ... !" 

Abu Musa tak tahan menghadapi kejadian yang tidak disangka-sangka itu. Ia mengeluarkan kata-kata sengit dan keras sebagai tamparan kepada 'Amr. Kemudian ia kembali kepada sikap mengasingkan diri... , diayunnya langkah menuju Mekah . . , di dekat Baitul Haram, menghabiskan usia dan hari-harinya di sana
 
 
Abu Musa radhiallahu anhu . adalah orang kepercayaan dan kesayangan Rasulullah shallallahu alaihi wasalam juga menjadi kepercayaan dan kesayangan para khalifah dan shahabat-shahabatnya . · · · 

Sewaktu Rasulullah shallallahu alaihi wasalam  masih hidup, ia diangkatnya bersama Mu'adz bin Jabal sebagai penguasa di Yaman. Dan setelah Rasul wafat, ia kembali ke Madinah untuk memikul tanggung jawabnya dalam jihad besar yang sedang diterjuni oleh tentara Islam terhadap Persi dan Romawi. 

Di masa Umar, Amirul Mu'minin mengangkatnya sebagai gubernur di Bashrah, sedang khalifah Utsman mengangkatnya menjadi gubernur di Kufah. 

Abu Musa termasuk ahli al-Quran menghafalnya, mendalami dan mengamalkannya. Di antara ucapan-ucapannya yang memberikan bimbingan mengenai al-Quran itu ialah:
 
 
"Ikutilah  al-Quran ... dan jangan kalian berharap akan diikuti oleh al-Quran...!" 
 
 
Ia juga termasuk ahli ibadah yang tabah. Waktu-waktu siang di musim panas, yang panasnya menyesak nafas, amat dirindukan kedatangannya oleh Abu Musa, dengan tujuan akan shaum padanya, katanya:


"Semoga rasa haus di panas terik ini akan menjadi pelepas dahaga bagi kita di hari qiamat nanti ... !"
Dan pada suatu hari yang lembut, ajal pun datang menyambut .... Wajah menyinarkan cahaya cemerlang, wajah seorang yang mengharapkan rahmat serta pahala Allah ar-Rahman. 
 
 
Kalimat yang selalu diulang-ulang, dan menjadi buah bibimya, sepanjang hayatnya yang diliputi keimanan itu, diulang dan menjadi buah bibirnya pula di saat ia hendak pergi berlalu ....
Kalimat-kalimat itu ialah:
 
"Ya Allah, Engkaulah Maha Penyelamat, dan dari-Mu-lah kumohon Keselamatan':
thumbnail

Yang penting Keikhlasan Bagian 2


Abu Musa merupakan gabungan yang istimewa dari sifat-sifat utama! Ia adalah prajurit yang gagah berani dan pejuang yang tangguh bila berada di medan perang... ! Tetapi ia juga seorang pahlawan perdamaian, peramah dan tenang, keramahan dan ketenangannya mencapai batas maksimal ... ! Seorang ahli hukum yang cerdas dan berfikiran sehat, yang mempu mengerahkan perhatian kepada kunei dan pokok persoalan, serta mencapai hasil gemilang dalam berfatwa dan mengambil keputusan, sampai ada yang mengatakan: "Qadli atau hakim ummat ini ada empat orang, yaitu Umar, Ali, Abu Musa dan Zaid bin Tsabit ....".

 

Di samping itu ia berkepribadian suci hingga orang yang menipunya di jalan Allah, pasti akan tertipu sendiri, tak ubahnya seperti senjata makan tuan ... ! Abu Musa sangat bertanggung jawab terhadap tugasnya dan besar perhatiannya terhadap sesama manusia. Dan andainya kita ingin memilih suatu semboyan dari kenyataan hidupnya, maka semboyan itu akan berbunyi: -- "Yang penting ialah ikhlas, kemudian biarlah terjadi apa yang akan terjadi... !"
 
 
 
Dalam arena perjuangan al-Sy'ari memikul tanggung jawab  dengan  penuh keberanian, hingga menyebabkan Rasulullah shallallahu alaihi wasalam  berkata mengenai dirinya: -- "Pemimpin dari orang-orang berkuda ialah Abu Musa  " Dan sebagai pejuang, Abu Musa melukiskan gambaran hidupnya sebagai berikut:     "Kami pernah pergi menghadapi suatu peperangan bersama Rasulullah, hingga sepatu kami pecah berlobang-lobang, tidak ketinggalan sepatuku, bahkan kuku jariku habis terkelupas, sampai-sampai kami terpaksa membalut telapak kaki kami dengan sobekan kain... !" 
 

Keramahan, kedamaian dan ketenangannya, jangan harap menguntungkan pihak musuh dalam sesuatu peperangan Karena dalam suasana seperti ini, ia akan meninjau sesuatu dengan sejelas-jelasnya, dan akan menyelesaikannya dengan tekad yang tak kenal menyerah. 


Pernah terjadi ketika Kaum Muslimin membebaskan negeri Persi, Al-Asy'ari dengan tentaranya menduduki kota Isfahan
 

Penduduknya minta berdamai dengan perjanjian bahwa mereka akan membayar upeti. Tetapi dalam perjanjian itu mereka tidak jujur, tujuan mereka hanyalah untuk mengulur waktu untuk mempersiapkan diri dan akan memukul Kaum Muslimin secara curang… !
 
 
Hanya kearifan Abu Musa yang tak pernah lenyap di saat-saat yang diperlukan,  mencium kebusukan niat yang mereka sembunyikan .... Maka tatkala mereka bermaksud hendak melancarkan pukulan mereka itu, Abu Musa tidaklah terkejut, bahkan telah lebih dulu siap untuk melayani dan menghadapi mereka. Terjadiiah pertempuran, dan belum lagi sampai tengah hari, Abu Musa telah beroleh kemenangan yang gemilang.... !
 
 
 
Dalam medan tempur melawan imperium Persi, Abu Musa al-Asy'ari mempunyai saham dan jasa besar. Bahkan dalam pertempuran di Tustar, yang dijadikan oleh Hurmuzan sebagai benteng pertahanan terakhir dan tempat ia bersama tentaranya mengundurkan diri, Abu Musa menjadi pahlawan dan bintang lapangannya ... ! Pada saat itu Amirul Mu'minin Umar ibnul Khatthab mengirimkan sejumlah tentara yang tidak sedikit, yang dipimpin oleh 'Ammar bin Yasir, Barra' bin Malik, Anas bin Malik, Majzaah al-Bakri dan Salamah bin Raja'. 
 
 

Dan kedua tentara itu pun, yakni tentara Islam di bawah pimpinan Abu Musa, dan tentara Persi di bawah pimpinan Hurmuzan, bertemulah dalam suatu pertempuran dahsyat. 
 
 

Tentara Persi menarik diri ke dalam kota Tustar yang mereka perkuat menjadi benteng. Kota itu dikepung oleh Kaum Muslimin berhari-hari lamanya, hingga akhirnya Abu Musa mempergunakan akal muslihatnya ....
 
 
 
Dikirimnya beberapa orang menyamar sebagai pedagang Persi membawa dua ratus ekor kuda disertai beberapa prajurit perintis menyamar sebagai pengembala. 

Pintu gerbang kota pun dibuka untuk mempersilakan para pedagang masuk. Secepat pintu benteng itu dibuka, prajurit-prajurit pun berloncatan menerkam para penjaga dan pertempuran kecil pun terjadi.
Abu Musa beserta pasukannya tidak membuang waktu lagi menyerbu  memasuki kota, pertempuran dahsyat terjadi, tapi tak berapa lama seluruh kota diduduki dan panglima beserta seluruh pasukannya menyerah kalah, Panglima musuh beserta para komandan pasukan oleh Abu Musa dikirim ke Madinah, menyerahkan nasib mereka pada Amirul Mu'minin. 
 
 
Tetapi baru saja prajurit yang kaya dengan pengalaman dan dahsyat ini meninggalkan medan, ia pun telah beralih rupa menjadi seorang hamba yang rajin bertaubat, sering menangis dan amat jinak bagaikan burung merpati…Ia membaca al-Quran  dengan suara yang menggetarkan tail hati para pendengarnya, hingga mengenai ini Rasulullah pernah bersabda:
 
 
'Sungguh, Abu Musa telah diberi Allah seruling dari seruling-seruling keluarga Daud…!"

Dan setiap Umar radhiallahu anhu melihatnya, dipanggiinya dan disuruhnya untuk membacakan Kitabullah: -

"Bangkitlah kerinduan kami kepada Tuhan kami, wahai Abu Musa... !"
 
 
Begitu pula dalam peperangan, ia tidak ikut serta, kecuali Sika melawan tentara musyrik, yakni tentara yang menentang Agama dan bermaksud hendak memadamkan nur atau cahaya Ilahi...Adapun peperangan antara sesama Muslim, maka ia menyingkirkan diri dan tak hendak terlibat di dalamnya. 
 
 
Pendiriannya ini jelas terlihat dalam perselisihan antara Ali dan Mu'awiyah, dan pada peperangan yang apinya berkobar ketika itu antara sesama Muslim. 
 
 
Dan mungkin pokok pembicaraan kita sekarang ini akan dapat mengungkapkan prinsip hidupnya yang paling terkenal yaitu pendiriannya dalam tahkim, pengadilan atau penyelesaian sengketa antara Ali dan Mu'awiyah. 
 
 
Pendiriannya ini sering dikemukakan sebagai saksi dan bukti atas kebaikan hatinya Yang berlebihan, hingga menjadi makanan empuk bagi Orang yang menipudayakannya. Tetapi sebagaimana akan kita lihat kelak, pendirian ini walaupun mungkin agak tergesa-gesa dan terdapat padanya kecerobohan, hanyalah mengungkapkan kebesaran shahabat yang mulia ini, baik kebesaran jiwa dan kebesaran keimanannya kepada yang haq serta kepercayaannya terhadap sesama kawan ....
 
 
Pendapat Abu Musa mengenai soal tahkim ini dapat kita Simpulkan sebagai berikut: -- memperhatikan adanya peperangan sesama Kaum Muslimin, dan adanya gejala masing-masing mempertahankan pemimpin dan kepala pemerintahannya, suasana antara kedua belah pihak sudah melantur sedemikian jauh serta teramat gawat menyebabkan nasib seluruh ummat Islam telah berada di tepi jurang yang amat dalam, maka menurut Abu Musa, suasana ini baru diubah dan dirombak dari bermula secara keseluruhan... !
 
 
Sesungguhnya perang saudara yang terjadi ketika itu, hanya berkisar pada pribadi kepala negara atau khalifah yang diperebutkan oleh dua golongan Kaum Muslimin. Maka pemecahannya ialah hendaklah Imam Ali meletakkan jabatannya nntuk sementara waktu, begitu pula Mu'awiyah baru turun, kemudian urusan diserahkan lagi dari bermula kepada Kaum Muslimin yang dengan jalan musyawarat akan memilih khalifah yang mereka kehendaki. 
 

Demikianlah analisa Abu Musa ini mengenai kasus tersebut, dan demikian pula cara pemecahannya ... ! Benar bahwa Ali radhiallahu anhu telah diangkat menjadi khalifah secara sah. Dan benar pula bahwa pembangkangan yang tidak beralasan, tidak dapat dibiarkan mencapai maksudnya untuk menggugurkan yang haq yang diakui syari'at ... ! Hanya menurut Abu Musa, pertikaian sekarang ini telah menjadi pertikaian antara penduduk Irak dan penduduk Syria, yang memerlukan pemikiran dan pemecahan dengan cara baru ,karena pengkhianatan Mu'awiyah sekarang ini telah  menjadi pembangkangan penduduk Syria, sehingga semua pertikaian itu tidaklah hanya pertikaian dalam pendapat dan pilihan saja. 
 
 
Tetapi kesemuanya itu telah berlarut-larut menjadi perang saudara dahsyat yang telah meminta ribuan korban dari kedua belah pihak, dan masih mengancam Islam dan Kaum Muslimin dengan akibat yang lebih parah! 
 
 
Maka melenyapkan sebab-sebab pertikaian dan peperangan serta menghindarkan benih-benih dan biang keladinya, bagi Abu Musa merupakan titik tolak untuk mencapai penyelesaian ...
 

Bersambung Ke bagian 3


Saturday 30 April 2016

thumbnail

Yang penting keikhlasan Bagian 1


Tatkala Amirul Mu'minin Umar bin Khatthab mengirimnya ke Bashrah untuk menjadi panglima dan gubernur, dikumpulkannyalah penduduk lain berpidato di hadapan mereka, katanya: 
 
 
"Sesungguhnya Amirul Mu'minin Umar telah mengirimku kepad kamu sekalian, agar aku mengajarkan kepada kalian kitab Tuhan kalian dan Sunnah Nabi kafian, serta membersihkan jalan hidup kalian!
 
 
 mediakomen 
 
 
 
Orang-orang sama heran dan bertanya-tanya... ! Mereka mengerti apa yang dimaksud dengan mendidik dan mengajari mereka tentang Agama, yang memang menjadi kewajiban gubernur dan panglima. Tetapi bahwa tugas gubernur itu juga membersihkan jalan hidup mereka, hal ini memang amat mengherankan dan menjadi suatu tanda tanya ...
 
 
Maka siapakah kiranya gubernur ini, yang mengenai dirinya Hasan Basri r.a. pernah berkata: -- 'Tak seorang pengendarapun yang datang ke Basrah yang  lebih berjasa kepada penduduknya selain dia ... !" 

Ia adalah Abdullah bin Qeis dengan gelar Abu Musa al-Asy'ari.  Ia  meninggalkan  negeri dan kampung halamannya Yaman menuju Mekah·, segera setelah mendengar munculnya seorang Rasul di sana yang menyerukan tauhid, dan menyeru beribadah kepada Allah berdasarkan penalaran dan pengertian, serta menyuruh berakhlaq mulia. 
 
 
 
 
 
Di Mekah dihabiskan waktunya untuk duduk di hadapan Rasulullah shallallahu alaihi wasalam  menerima petunjuk dan keimanan daripadanya. Lalu pulanglah ia ke negerinya membawa kalimat Allah, baru kembali lagi kepada Rasul shallallahu alaihi wasalam  tidak lama setelah selesainya pembebasan Khaibar.... 
 

Kebetulan kedatangannya ini bersamaan dengan tibanya Ja'far bin Abi Thalib bersama rombongannya dari Habsyi, hingga semua mereka mendapat bagian saham dari hasil pertempuran Khaibar. 
 
 
 
Kali ini, Abu Musa tidaklah datang seorang diri, tetapi membawa lebih dari limapuluh orang laki-laki penduduk Yaman yang telah diajarinya tentang Agama Islam, serta dua orang saudara kandungnya yang bernama Abu Ruhum dan Abu Burdah. 
 
 
Rombongan ini, bahkan seluruh kaum mereka dinamakan Rasulullah golongan Asy'ari, serta dilukiskannya bahwa mereka adalah orang-orang yang paling lembut hatinya di antara sesamanya. Dan sering mereka diambilnya sebagai  tamsil perbandingan bagi para shahabatnya, sabda beliau: --
 
 
 
 "Orang-orang Asy'ari ini  bila mereka kekurangan makanan dalam peperangan atau ditimpa paceklik, maka mereka kumpulkan semua makanan yang mereka miliki pada selembar kain, lalu mereka bagi rata ....
 

Maka mereka termasuk golonganku, dan aku termasuk golongan mereka... !"
 
 
Mulai saat itu, Abu Musa pun menempati kedudukannya yang tinggi dan tetap di kalangan Kaum Muslimin dan Mu'minin yang ditakdirkan beroleh nasib mujur menjadi shahabat Rasulullah dan muridnya, dan yang menjadi penyebar Islam ke seluruh dunia, pada setiap masa zaman. 
 

Bersambung ke bagian 2

Saturday 9 April 2016

thumbnail

Imam Abu Hasan Al-Asy’ari

Beliau adalah Abu Al-Hasan Ali bin Ism’il bin Ishaq bin Saalim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Abi Burdah bin Abu Musa Al-Asy’ari. Beliau lahir pada tahun 260 H di Bashrah, ada yang mengatakan lahir pada tahun 270 H. Beliau wafat pada tahun 324 H, ada yang mengatakan wafat di tahun 333 H, ada juga yang mengatakan wafat pada tahun 330 H. Meninggal di kota Baghdad dan disemayamkan di pemakaman antara Al-Karkh dan pintu masuk Bashrah.

Beliau datang dari kampungnya menuju ke kota Baghdad untuk belajar dan menuntut ilmu, beliau belajar hadits kepada Al-Hafidz Zakaria bin Yahya As-Saaji, dimana beliau adalah salah satu Imam ahli hadits dan fikih di zamannya. mediakomen

Beliau juga belajar kepada Abu Khalifah Al-Jamhi, Sahl bin Sarh, Muhammad bin Ya’kub Al-Muqri, Abdurrahman bin Khalaf Al-Bashriyin. Beliau bahkan banyak meriwayatkan hadits-hadits dalam kitab tafsirnya dari jalur mereka, yaitu dalam kitab Al-Mukhtazan. Adapun ilmu kalam beliau banyak belajar kepada Abu Ali Al-Jabba’i seorang tokoh terkemuka dalam sekte Mu’tazilah.

Sejatinya beliau adalah seorang sunni dan dari keluarga sunni, namun setelah beliau belajar ilmu kalam dari Abu Ali Al-Jabba’i, beliau terpengaruh dan menjadi pengikut mu’tazilah. Setelah berlalunya masa, beliau bertaubat dan naik ke atas mimbar di Masjid Jami’ di kota Bashrah pada hari jumat sembari berbicara dengan nada tinggi, “Siapa yang mengenalku, maka ia telah mengenalku, dan siapa yang tidak mengenalku, maka aku perkenalkan diriku di sini, aku adalah fulan bin fulan, dulu aku berpendapat bahwa al-Qur’an adalah makhluk, Allah tidak bisa dilihat oleh kasat mata, dan perbuatan-perbuatan buruk akulah yang menciptakannya. Sekarang aku bertaubat dengan sebenar-benarnya, aku bertekad untuk membantah orang-orang Mu’tazilah, dan akan menyingkap keburukan, penyimpangan dan cela yang mereka miliki.”

Dikisahkan bahwa tatkala beliau telah menguasai ilmu kalam di kalangan sekte Mu’tazilah, beliau pernah menyampaikan beberapa pertanyaan kepada gurunya saat belajar, namun dirinya tidak mendapatkan jawaban yang lengkap dan memuaskan. Akhirnya beliau merasa bingung dan bimbang.
Beliau mengisahkan, “Pada suatu malam terlintas dalam hatiku terkait masalah akidah yang masih membuatku bingung. Lantas aku pun bangun dan mengerjakan shalat dua rekaat, berdoa kepada Allah agar memberiku petunjuk ke jalan yang lurus. Setelah itu aku kembali tidur, aku pun bermimpi bertemu Rasulullah, lalu aku sampaikan hal-hal yang sedang menimpaku. Rasulullah bersabda kepadaku, “Hendaklah kamu berpegang teguh dengan sunnahku.” Aku pun kaget dan terbangun dari tidurnya.. setelah itu aku cocokan masalah-masalah yang ada dalam ilmu kalam dengan apa yang ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Yang sesuai dengan keduanya tetap aku pegang teguh, adapun yang bertentangan aku tinggalkan.”

Al-Khatib Al-Baghdadi mengatakan dalam kitab Tarikhnya halaman 346, “Abu Hasan Al-Asy’ari yang merupakan ahli kalam adalah seorang penulis yang banyak menulis buku untuk membantah orang-orang yang menyimpang dari sekte Mu’tazilah, Rafidhah, Jahmiyah, Khawarij dan semua kelompok-kelompok ahli bid’ah.”

Imam Abu Hasan Al-Asy’ari memiliki karya ilmiah, bahkan ada yang mengatakan bahwa beliau telah menulis sekitar 50 buku, dan ada yang menyebutkan lebih dari itu. Di antara karya-karya beliau ialah:
1. Idhahul Burhan Fi Ar-Radd ‘Ala Ahli Az-Zaigh Wa At-Tughyan
2. Tafsir Al-Qur’an, ia adalah kitab yang lengkap
3. Ar-Raddu ‘Ala Ibni Ar-Rawandi Fi Ash-Shifat Wa Al-Qur’an
4. Al-Fushul Fi Ar-Radd ‘Ala Mulhidin Wa Al-Kharijin ‘Anil Millah
5. Al-Qami Li Kitab Al-Khalidi Fi Al-Iradah
6. Kitab Al-Ijtihad Fi Al-Ahkam
7. Kitab Al-Akhbar Wa Tashhihuha
8. Taba Al-Idraak Fi Funun Min Lathifil Kalam
9. Kitab Al-Imamah
10. At-Tabyiin ‘An Ushuludin
11. Asy-Syarh Wa Tafsil Fi Ar-Radd ‘Ala Ahli Al-Ifki Wa At-Tadhlil
12. Al-’Amdu Fi Ar-Ru’yah
13. Kitab Al-Mujiz
14. Kitab Khalqil A’mal
15. Kitba Ash-Shifat
16. Kitab Ar-Radd Ala Al-Mujasimah
17. Al-Lam’u Fi Ar-Radd Ala Ahli Az-Zaigh Wa Al-Bida’
18. An-Naqdhu Ala Al-Jibai’
19. An-Naqdhu Ala Al-Balakhi
20. Jumal Makalaat Al-Mulhidin
21. Kitab Fi Ash-Shifat
22. Adab Al-Jadal
23. Al-Funun Fi Ar-Radd Ala Al-Mulhidin
24. An-Nawadir Fi Daqaiqil Kalam
25. Jawazu Ru’yatillah Bi Al-Abshar

Sumber : alsofwa.com
thumbnail

Kisah Jin yang Menyerupai Ibnu Taimiyyah

Untuk lengkapnya, Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) bertutur:
 

كنت في مصر في قلعتها، وجرى مثل هذا إلى كثير من الترك من ناحية المشرق، وقال له ذلك الشخص: أنا ابن تيمية، فلم يشك ذلك الأمير أني أنا هو، وأخبر بذلك ملك ماردين، وأرسل بذلك ملك ماردين إلى ملك مصر رسولا وكنت في الحبس؛ فاستعظموا ذلك وأنا لم أخرج من الحبس، ولكن كان هذا جنيا يحبنا فيصنع بالترك التتر مثل ما كنت أصنع بهم؛ لما جاءوا إلى دمشق: كنت أدعوهم إلى الإسلام، فإذا نطق أحدهم بالشهادتين أطعمته مما تيسر، فعمل معهم مثل ما كنت أعمل، وأراد بذلك إكرامي ليظن ذاك أني أنا الذي فعلت ذلك.

Suatu ketika saat saya (Ibnu Taimiyyah) ditahan di penjara Mesir, kejadian seperti ini (sebagaimana dituturkan Ibnu Taimiyyah di atas) terjadi terhadap orang-orang Turki Timur. Ada seorang yang mengaku, “Saya adalah Ibnu Taimiyyah”.
 

Seorang pemimpin Turki itu yakin bahwa seorang yang dilihatnya adalah saya (Ibnu Taimiyyah). Maka dilaporkanlah kejadian itu kepada Raja Mardin (sebuah Provinsi sekarang di daerah Turki). Untuk memastikan kebenarannya, Raja Mardin pun mengutus utusan kepada Raja Mesir.
 
 mediakomen
 
 
Hal itu membuat gempar masyarakat Mesir, padahal beliau (Ibnu Taimiyyah) masih di dalam penjara dan tidak keluar kemana-mana. Kenapa ada Ibnu Taimiyyah juga di Turki?
 

Ibnu Taimiyyah mengemukakan, “‘Orang’ tersebut adalah jin yang mencintai saya”. Dia berbuat sebagaimana apa yang telah saya perbuat kepada Orang Tartar dari Turki saat mereka datang ke Damaskus dahulu. Saya ajak mereka masuk Islam, ketika salah satu dari mereka masuk Islam, saya beri makan seadanya. (Ibnu Taimiyyah w. 728 H, Majmu’ al-Fatawa, h. 13/ 92)

Friday 26 February 2016

thumbnail

Shalahudin Al Ayubi (Saladin)



Seorang laki-laki yang mulia dan memiliki peranan yang besar dalam sejarah Islam, seorang panglima Islam, serta kebanggaan suku Kurdi, ia adalah Shalahuddin Yusuf bin Najmuddin Ayyub bin Syadi atau yang lebih dikenal dengan Shalahuddin al-Ayyubi atau juga Saladin. Ia adalah seorang laki-laki yang mungkin sebanding dengan seribu laki-laki lainnya.

Masa Pertumbuhannya
Shalahuddin al-Ayyubi adalah laki-laki dari kalangan ‘ajam (non-Arab), tidak seperti yang disangkakan oleh sebagian orang bahwa Shalahuddin adalah orang Arab, ia berasal dari suku Kurdi. Ia lahir pada tahun 1138 M di Kota Tikrit, Irak, kota yang terletak antara Baghdad dan Mosul. Ia melengkapi orang-orang besar dalam sejarah Islam yang bukan berasal dari bangsa Arab, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Tirmidzi, dan lain-lain.
Karena suatu alasan, kelahiran Shalahuddin memaksa ayahnya untuk meninggalkan Tikrit sehingga sang ayah merasa kelahiran anaknya ini menyusahkan dan merugikannya. Namun kala itu ada orang yang menasihatinya, “Engkau tidak pernah tahu, bisa jadi anakmu ini akan menjadi seorang raja yang reputasinya sangat cemerlang.”
Dari Tikrit, keluarga Kurdi ini berpindah menuju Mosul. Sang ayah, Najmuddin Ayyub tinggal bersama seorang pemimpin besar lainnya yakni Imaduddin az-Zanki. Imaduddin az-Zanki memuliakan keluarga ini, dan Shalahuddin pun tumbuh di lingkungan yang penuh keberkahan dan kerabat yang terhormat. Di lingkungan barunya dia belajar menunggang kuda, menggunakan senjata, dan tumbuh dalam lingkungan yang sangat mencintai jihad. Di tempat ini juga Shalahuddin kecil mulai mempelajari Alquran, menghafal hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mempelajari bahasa dan sastra Arab, dan ilmu-ilmu lainnya.
Sang Menteri di Mesir
Sebelum kedatangan Shalahuddin al-Ayyubi, Mesir merupakan wilayah kekuasaan kerajaan Syiah, Daulah Fathimiyah. Kemudian pada masa berikutnya Dinasti Fathimiyah yang berjalan stabil mulai digoncang pergolakan di dalam negerinya. Orang-orang Turki, Sudan, dan Maroko menginginkan adanya revolusi. Saat itu Nuruddin Mahmud, paman Shalahuddin, melihat sebuah peluang untuk menaklukkan kerajaan Syiah ini, ia berpandangan penaklukkan Daulah Fathimiyyah adalah jalan lapang untuk membebaskan Jerusalem dari kekuasaan Pasukan Salib.
Nuruddin benar-benar merealisasikan cita-citanya, ia mengirim pasukan dari Damaskus yang dipimpin oleh Asaduddin Syirkuh untuk membantu keponakannya, Shalahuddin al-Ayyubi, di Mesir. Mengetahui kedatangan pasukan besar ini, sebagian Pasukan Salib yang berada di Mesir pun lari kocar-kacir sehingga yang dihadapi oleh Asaduddin dan Shalahuddin hanyalah orang-orang Fathimyah saja. Daulah Fathimiyah berhasil dihancurkan dan Shalahuddin diangkat menjadi mentri di wilayah Mesir. Namun tidak lama menjabat sebagai menteri di Mesir, dua bulan kemudian Shalahuddin diangkat sebagai wakil dari Khalifah Dinasti Ayyubiyah.
Selama dua bulan memerintah Mesir, Shalahuddin membuat kebijakan-kebijakan progresif yang visioner. Ia membangun dua sekolah besar berdasarkan madzhab Ahlussunnah wal Jamaah. Hal ini ia tujukan untuk memberantas pemikiran Syiah yang bercokol sekian lama di tanah Mesir. Hasilnya bisa kita rasakan hingga saat ini, Mesir menjadi salah satu negeri pilar dakwah Ahlussunnah wal Jamaah atau Sunni. Kebijakan lainnya yang ia lakukan adalah mengganti penyebutan nama-nama khalifah Fathimiyah dengan nama-nama khalifah Abbasiyah dalam khutbah Jumat.
Menaklukkan Jerusalem
Persiapan Shalahuddin untuk menggempur Pasukan Salib di Jerusalem benar-benar matang. Ia menggabungkan persiapan keimanan (non-materi) dan persiapan materi yang luar biasa. Persiapan keimanan ia bangun dengan membersihkan akidah Syiah bathiniyah dari dada-dada kaum muslimin dengan membangun madrasah dan menyemarakkakn dakwah, persatuan dan kesatuan umat ditanamkan dan dibangkitkan kesadaran mereka menghadapi Pasukan Salib. Dengan kampanyenya ini ia berhasil menyatukan penduduk Syam, Irak, Yaman, Hijaz, dan Maroko di bawah satu komando. Dari persiapan non-materi ini terbentuklah sebuah pasukan dengan cita-cita yang sama dan memiliki landasan keimanan yang kokoh.


Dari segi fisik Shalahuddin mengadakan pembangunan makas militer, benteng-benteng perbatasan, menambah jumlah pasukan, memperbaiki kapal-kapal perang, membangun rumah sakit, dll.
Pada tahun 580 H, Shalahuddin menderita penyakit yang cukup berat, namun dari situ tekadnya untuk membebaskan Jerusalem semakin membara. Ia bertekad apabila sembuh dari sakitnya, ia akan menaklukkan Pasukan Salib di Jerusalem, membersihkan tanah para nabi tersebut dari kesyirikan trinitas.

Dengan karunia Allah, Shalahuddin pun sembuh dari sakitnya. Ia mulai mewujudkan janjinya untuk membebaskan Jerusalem. Pembebasan Jerusalem bukanlah hal yang mudah, Shalahuddin dan pasukannya harus menghadapi Pasukan Salib di Hathin terlebih dahulu, perang ini dinamakan Perang Hathin, perang besar sebagai pembuka untuk menaklukkan Jerusalem. Dalam perang tersebut kaum muslimin berkekuatan 63.000 pasukan yang terdiri dari para ulama dan orang-orang shaleh, mereka berhasil membunuh 30000 Pasukan Salib dan menawan 30000 lainnya.
Setelah menguras energy di Hathin, akhirnya kaum muslimin tiba di al-Quds, Jerusalem, dengan jumlah pasukan yang besar tentara-tentara Allah ini mengepung kota suci itu. Perang pun berkecamuk, Pasukan Salib sekuat tenaga mempertahankan diri, beberapa pemimpin muslim pun menemui syahid mereka –insya Allah- dalam peperangan ini. Melihat keadaan ini, kaum muslimin semakin bertambah semangat untuk segera menaklukkan Pasukan Salib.
Untuk memancing emosi kaum muslimin, Pasukan Salib memancangkan salib besar di atas Kubatu Shakhrakh. Shalahuddin dan beberapa pasukannya segera bergerak cepat ke sisi terdekat dengan Kubbatu Shakhrakh untuk menghentikan kelancangan Pasukan Salib. Kemudian kaum muslimin berhasil menjatuhkan dan membakar salib tersebut. Setelah itu, jundullah menghancurkan menara-menara dan benteng-benteng al-Quds.

Pasukan Salib mulai terpojok, merek tercerai-berai, dan mengajak berunding untuk menyerah. Namun Shalahuddin menjawab, “Aku tidak akan menyisakan seorang pun dari kaum Nasrani, sebagaimana mereka dahulu tidak menyisakan seorang pun dari umat Islam (ketika menaklukkan Jerusalem)”. Namun pimpinan Pasukan Salib, Balian bin Bazran, mengancam “Jika kaum muslimin tidak mau menjamin keamanan kami, maka kami akan bunuh semua tahanan dari kalangan umat Islam yang jumlahnya hampir mencapai 4000 orang, kami juga akan membunuh anak-anak dan istri-istri kami, menghancurkan bangunan-bangunan, membakar harta benda, menghancurkan Kubatu Shakhrakh, membakar apapun yang bisa kami bakar, dan setelah itu kami akan hadapi kalian sampai darah penghabisan! Satu orang dari kami akan membunuh satu orang dari kalian! Kebaikan apalagi yang bisa engkau harapkan!” Inilah ancaman yang diberikan Pasukan Salib kepada Shalahuddin dan pasukannya.



Dome of The Rock atau Kubatu Shakhrakh
Dome of The Rock atau Kubatu Shakhrakh
Shalahuddin pun mendengarkan dan menuruti kehendak Pasukan Salib dengan syarat setiap laki-laki dari mereka membayar 10 dinar, untuk perempuan 5 dinar, dan anak-anak 2 dinar. Pasukan Salib pergi meninggalkan Jerusalem dengan tertunduk dan hina. Kaum muslimin berhasil membebaskan kota suci ini untuk kedua kalinya.
Shalahuddin memasuki Jerusalem pada hari Jumat 27 Rajab 583 H / 2 Oktober 1187, kota tersebut kembali ke pangkuan umat Islam setelah selama 88 tahun dikuasai oleh orang-orang Nasrani. Kemudian ia mengeluarkan salib-salib yang terdapat di Masjid al-Aqsha, membersihkannya dari segala najis dan kotoran, dan mengembalikan kehormatan masjid tersebut.

Wafat
Shalahuddin  wafat meninggalkan dunia yang fana ini pada usia 55 tahun, pada 16 Shafar 589 H bertepatan dengan 21 Febuari 1193 di Kota Damaskus. Ia meninggal karena mengalami sakit demam selama 12 hari. Orang-orang ramai menyalati jenazahnya, anak-anaknya Ali, Utsman, dan Ghazi turut hadir menghantarkan sang ayah ke peristirahatannya. Semoga Allah meridhai, merahmati, dan  membalas jasa-jasa engkau wahai pahlawan Islam, sang pembebas Jerusalem.

Sumber:
Shalahuddin al-Ayyubi Bathalu al-Hathin oleh Abdullah Nashir Unwan
Shalahuddin al-Ayyubi oleh Basim al-Usaili
Shalahuddin al-Ayyubi oleh Abu al-Hasan an-Nadawi
Islamstroy.com
KisahMuslim.com

Dipostkan Kembali Oleh Nata Zikri

Popular Posts